RESUME PLS
BAB I
KONSEP DASAR PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
1.
Pengertian PLS
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) secara ringkas dapat
diartikan sebagai segala kegiatan pendidikan yang berlangsung di luar sistem
persekolahan. Pendidikan tidak hanya berlangsung disekolah, melainkan juga di
dalam keluarga dan di tengah kehidupan masyarakat luas seperti di lembaga
pendidikan, di tempat kerja, di tengah pergaulan, dan di tempat-tempat lain
yang tidak disengaja untuk pendidikan. Pendidikan di sekolah cenderung disebut
sebagai pendidikan formal, pendidikan di keluarga sering disebut pendidikan informal, dan pendidikan di tengah masyarakat sering
disebut sebagai pendidikan nonformal. Penyebutan ini sebetulnya lebih menunjuk
ke segi wilayah atau lokasi, sedangkan dari segi proses di dalam lingkungan
sekolahpun sebetulnya juga terdapat pendidikan non formal dan pendidikan
informal.
Proses pendidikan sebetulnya dapat terjadi atas atau
tanpa bantuan orang lain. Setiap manusia – secara sadar atau tidak, sedikit
atau banyak – secara alamiah senantiasa melakukan kegiatan belajar disepanjang
hayatnya baik secara intensif ataupun tidak intensif. Bagian yang paling
esensial atau inti dari kegiatan pendidikan adalah belajar. Pendidik hanya bisa
membantu seseorang untuk belajar, sedangkan yang mengubah dan atau yang
mengembangkan potensi diri tidak lain adalah peserta didik sendiri. Kegiatan
mendidik dan belajar dapat dilakukan oleh siapapun, dimanapun, kapanpun, dan
mengenai hal apapun. Karena itu
pendidikan merupakan kebutuhan setiap orang untuk dapat mengoptimalisasi kehidupannya
dan PLS merupakan bidang yang bertugas untuk melayani pemenuhan kebutuhan
belajar tersebut di luar jalur sekolah. PLS merupakan bidang pendidikan yang
menggeluti pengembangan potensi manusia di luar sistem persekolahan.
Proses pendidikan terjadi baik melalui interaksi langsung
ataupun tidak langsung. Interaksi langsung berarti interaksi secara tatap muka.
Sedangkan pendidikan melalui interaksi tidak langsung bisa dilakukan dengan
penciptaan kondisi atau lingkungan. Selain itu upaya tidak langsung juga dapat
dilakukan melalui pemanfaatan sumber daya yang tersedia yang mungkin bukan
didesain untuk keperluan pendidikan, baik sumber daya manusia, alam, ataupun
budaya.
Unesco
(datam Tight, 2002) memang mendefinisikan pendidikan sebagai “organized and sustained instruction designed
to communicate a combination of knowledge, skills and understanding valuable
for all the activities of life”, pendidikan merupakan suatu pembelajaran
yang dirancang untuk mengomunikasikan kombinasi antara pengetahuan,
keterampilan dan pemahaman yang berharga untuk kehidupan manusia. Di sini
pendidikan tampaknya disamakan dengan pembelajaran. Akan tetapi definisi
pendidikan yang menyamakan dengan pembelajaran ini tentu menyempitkan
pengertian pendidikan itu sendiri, apalagi arahnya hanya tertuju ke penyampaian
konten atau pengetahuan. Bagi bangsa Barat yang berbudaya sangat rasional
barangkali hal ini cocok, tetapi bagi bangsa Timur seperti Indonesia yang tidak
semata-mata rasional karena sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, maka
penyampaian konten saja bukanlah upaya yang bisa memenuhi kebutuhan belajar
dalam rangka pengembangan potensi peserta didik.
PLS
adalah salah satu bagian atau cabang dari ilmu pendidikan. Dengan demikian PLS
adalah juga kajian terapan. Sebagai kajian terapan, PLS selain dilandasi psikologi
juga dilandasi oleh ilmu murni yang lain seperti Sosiologi (ilmu tentang
hubungan sosial). Dengan sosiologi, seorang pendidik luar sekolah bisa memahami
gejala-gejala, unsur-unsur, dan dinamika hubungan sosial manusia atau
komunitas. Wawasan sosiologi membantu pendidik luar sekolah dalam menghadapi
masalah-masalah sosial dan memudahkannya dalam mengambil keputusan-keputusan
yang tepat dan arif dalam memberikan layanan pendidikan. Ilmu murni pendukung
lainnya lagi adalah antropologi sosial atau budaya. Dengan memiliki latar
belakang ilmu ini, pendidik luar sekolah memiliki pemahaman tentang ciri-ciri
budaya masyarakat dan peran sosial-budaya terhadap perilaku masyarakat. Dengan
wawasan ini pendidik luar sekolah lebih mudah dalam melakukan pendekatan kepada
masyarakat dalam rangka melaksanakan tugas pendidikannya. Dengan memiliki
wawasan psikologi, sosiologi, dan antropologi sosial tersebut seorang pendidik
luar sekolah mampu mengenali dengan mudah kebutuhan belajar peserta didik
beserta berbagai kemungkinan latar belakangnya. Latar belakang peserta didik
PLS sangat heterogin baik dari segi jumlah maupun identitas diri (usia, tingkat
pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, tempat tinggal, dan lain-lain). Latar
belakang mereka juga sekaligus sangat kompleks, baik dari segi pengalaman,
kemampuan, kepribadian, ekonomi, budaya, politik, agama, maupun lainnya.
Artinya, peserta didik PLS bisa terdiri atas individu, kelompok, ataupun
komunitas. Pengelompokan mereka bisa berdasarkan usia, tingkat pendidikan, pekerjaan,
tempat tinggal, kemampuan, tingkat ekonomi, budaya, ataupun lainnya.
2.
Ruang Lingkup PLS
Untuk
mengetahui ruang lingkup PLS perlu dilihat terlebih dahulu ruang lingkup
pendidikan. Bapak pendidikan nasional yaitu Ki Hajar Dewantoro, dalam andit
perjuangannya untuk kemerdekaan RI menegaskan bahwa pendidikan itu berlangsung
di tiga tempat utama yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat yang dinamakannya
sebagai "Tri Pusat Pendidikan" (Hatimah dan Sadri, 2007). Sejalan
dengan hal tersebut UU tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) Nomor 20
tahun 2003 mencantumkan bahwa pendidikan berlangsung melalui tiga jalur, yaitu
pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. Dari tiga
tempat utama tersebut PLS terjadi terutama dalam keluarga dan masyarakat.
Selanjutnya dari tiga jalur pendidikan yang ditetapkan UU Sisdiknas PLS
sekurang-kurangnya terwadahi dalam dua jalur, yaitu pendidikan nonformal dan
informal. Dari sinilah lahir istilah PNFI (pendidikan nonformal dan informal)
di Indonesia sebagai istilah yang menunjuk kepada PLS. Sebetulnya lingkup PLS
yang seperti ini merupakan lingkup dari segi pangkategorian yang sederhana
atau kemudahan penglihatan. Dari segi transaksional, di dalam pendidikan
persekolahan atau pendidikan formal sebenarnya juga terdapat proses pendidikan
informal dan bahkan nonformal. Sosialisasi di sekolah adalah pendidikan
informal. Kegiatan ekstra kurikuler seperti kepramukaan dan latihan bela diri
adalah pendidikan nonformal. Yang terkategori sebagai pendidikan formal itu
sendiri sebenarnya adalah proses pembelajaran di kelas sebagaimana yang
terjadwal secara kurikuler.
Ruang
lingkup PLS sebetulnya juga tercermin pada istilah pemberdayaan masyarakat.
Tujuan pemberdayaan masyarakat dan tujuan pendidikan pada dasarnya sama, yaitu
mengembangkan potensi manusia. Jika dibedakan, perbedaannya hanya terletak pada
jumlah subek didiknya. Subyek didik pemberdayaan masyarakat adalah komunitas,
sedangkan subyek didik pendidikan adalah individu. Hal ini berkonsekuensi pada
perbedaan pola atau dinamika interaksi dan kompetensi yang dituntut pada pihak
petugasnya. Komunitas adalah sekelompok individu yang hidup dan bertempat
tinggal di suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu yang relatif lama. Di
dalam kehidupan bersama tersebut selalu ada masalah yang menyangkut kepentingan
bersama, sehingga dituntut adanya kesadaran bersama dan kebersamaan tindakan
dalam menanggulanginya. Untuk itu lahir kebutuhan belajar pada komunitas yang
bersangkutan.
Dengan
demikian ruang lingkup PLS jauh lebih luas ketimbang ruang lingkup pendidikan
persekolahan, bahkan menjangkau ke kehidupan masyarakat secara Was. Keluasan
tingkup garapan ini menyebabkan PLS memiliki jenis dan program yang sangat
beraneka ragam, memiliki permasalahan dan dinamika tersendiri, dan memerlukan
penanganan yang serius agar seluruh cakupan kegiatannya dapat terlaksana dengan
sebaik-baiknya.
Pendidikan
yang terkategori sebagai pendidikan nonformal dewasa ini sangat beraneka ragam
di masyarakat. Wujud kegiatan pendidikan tersebut antara lain berupa
kursus-kursus, pelatihan atau training, bimbingan belajar, les privat,
pengajian di televisi, majelis taklim, khotbah Jum'at, dan sekolah minggu.
Kegiatan-kegiatan pendidikan tersebut dewasa ini tumbuh menjamur. Di masa yang lalu
kursus hanya berkembang di daerah perkotaan, tetapi sekarang sudah banyak
dijumpai di daerah-daerah pedesaan. Dahulu pelatihan atau penataran lebih
banyak diselenggarakan oleh instansi-instansi pemerintah, sekarang kegiatan
tersebut banyak dilaksanakan oleh perusahaan, LSM, bahkan organisasi-organisasi
sosial kemasyarakatan. Dahulu TK dan Play Group hanya terdapat di wilayah
perkotaan dan baru diminati oleh keluarga golongan ekonomi menengah ke atas,
sekarang lembaga pendidikan tersebut sudah menjamur di wilayah pedesaan clan
sudah diminati oleh keluarga dari golongan menengah ke bawah. Bahkan TPA
(tempat penitipan anak) yang dulunya hanya ada di kota-kota tertentu saja,
sekarang sudah bermunculan hampir di seluruh pelosok tanah air.
Demikian
juga dengan pendidikan informal. Pada dasarnya pendidikan dalam format ini
terjadi di mana saja dan kapan saja, bahkan oleh siapa saja, namun umumnya
orang lebih memahaminya sebagai proses edukasi yang hanya berlangsung di
lingkungan keluarga. Di dalam kehidupan sehari-hari seperti di dalam keluarga,
di tempat kerja ataupun di tengah pergaulan umum, belajar terjadi secara
intensif melalui proses imitasi (peniruan). Dad sekitar umur 2 tahun seorang
anak secara alamiah menirukan apa saja yang dilihat dan didengamya dari orang
tua dan anggota keluarga yang lain. Proses peniruan terus berlanjut di masa
sekolah, remaja, dewasa awal, hingga dewasa lanjut. Peristiwa imitasi hampir
mendominasi seluruh aspek kehidupan manusia. Imitasi bahkan mengembangkan
imajinasi, inelahirkan berbagai inspirasi, dan mendorong semangat seseorang
untuk melakukan suatu tindakan dan mendapatkan berbagai penga - laman hidup.
Selanjutnya
di dalam kehidupan keluarga para orang tua sengaja mengarahkan anak-anaknya
untuk menjadi anak yang baik. Untuk itu dalam memilih tempat tinggal misalnya,
selalu dipilihnya rumah yang dekat dengan masjid dan sekolah. Setiap pulang
dari dinas luar kota atau ketika mendapat rejeki berlebih tidak lupa membelikan
oleh-oleh untuk anak-anaknya berupa mainan ataupun lagu-lagu yang edukatif.
Ketika anaknya sudah mendekati kelas akhir di sekolahnya maka diikutkan kursus
yang diselenggarakan di sekolah ataupun di luar sekolah atau bahkan didatangkan
guru les ke rumah. Setiap pagi program kuliah subuh di televisi tertentu dihidupkan
untuk ditonton dan didengarkan oleh keluarga. Dalam kesempatan makan macam
bersama di rumah disisipkan nasihat atau pengarahan untuk anakanaknya tentang
akhlaq dan keimanan. Ketika terjadi gerhana mata-had sang ayah membuka buku
fiqih Islam tentang cara sholat gerhana dan menyampaikannya kepada anak dan
isterinya. Di sela-sela kesempatan bercengkerama bersama keluarga yang tengah
membicarakan tentang tetangga yang baru saja wafat, orang tua memanfaatkannya
untuk meningkatkan keyakinan keluarga tentang kepastian kehidupan akhirat.
Pendidikan
informal memang lebih menekankan pembentukan sikap dan nilai atau kepribadian,
pendidikan nonformal lebih menekankan keterampilan atau kecakapan hidup, dan
pendidikan formal lebih menekankan kognitif atau pengetahuan. Banyak sekali
pengalaman hidup yang diperoleh seseorang dari pendidikan informal tidak
diperoleh di pendidikan nonformal ataupun pendidikan formal dan begitupun
sebaliknya. Pengalaman yang diperoleh seseorang dalam pendidikan informal
umumnya lebih intensif, lebih terasa, dan lebih kokoh dan pengalaman yang
diperoleh dalam pendidikan formal umumnya meningkatkan wawasan, kemampuan
berfikir, bahkan kepercayaan dan harga diri karena telah melahirkan pengakuan
orang lain terhadap tingkat pendidikan dan kemam-puannya. Pendidikan nonformal
juga memberikan banyak andil bagi seseorang untuk mengembangkan dan memperkaya
performansinya terkait dengan pekerjaan atau profesi bahkan kecerdasan
emosional dan spiritual.
Istilah
pendidikan luar sekolah, pendidikan masyarakat, pendidikan sosial,
pemberdayaan masyarakat, pendidikan non-formal, ataupun pendidikan nonformal
dan informal merupakan istilah yang digunakan di Indonesia.
3.
Prinsip PLS
Prinsip
dasar pertama kegiatan PLS adalah Lifelong
Learning (belajar sepanjang hayat). Prinsip ini sebetulnya merupakan pokok
pikiran yang sesuai dengan hakikat, realitas, dan ruang lingkup pendidikan itu
sendiri. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa setiap manusia baik secara
sadar atau tidak, sedikit atau banyak, senantiasa melakukan kegiatan belajar di
sepanjang usia jaganya. Pada saat melakukan kegiatan belajar, seseorang
sebenarnya tengah mendidik diri sendiri. Karena itu inti kegiatan pendidikan
pada dasarnya adalah belajar. Kenyataan menunjukkan bahwa semenjak dahulu
hingga sekarang, bahkan juga di masa mendatang kegiatan belajar terus menerus
terjadi di sepanjang hayat manusia. Kejadian tersebut berlangsung tanpa
mengenal batas waktu, tempat, dan pelaku.
Prinsip
Lifelong Learning memang terlihat
lebih berkenaan dengan segi waktu, sedangkan prinsip Education for All tampak lebih berkenaan dengan cakupan subyek
layanan pendidikan. Namun demikian, keduanya sebetulnya saling melengkapi dan
bahkan Education for All lebih
menegaskan bahwa pendidikan sepanjang hayat itu berarti pendidikan untuk semua
orang. Dengan demikian Education for All merupakan
prinsip yang berdampak lebih membumikan prinsip Lifelong Learning. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa keduanya
merupakan prinsip PLS dan harus dipegang teguh dalam setiap penyelenggaraan
PLS.
Selain
istilah Lifelong Learning ada juga
istilah Lifelong Education. Perlu
diketengahkan disini bahwa Lifelong
Education merupakan sebuah istilah yang mula-mula dikemukakan oleh Paul
Lengrand pada tahun 1972 dalam sidang Unesco. istilah ini menunjuk ke sebuah
pengakuan bahwa pendidikan pada hakikatnya berlangsung sepanjang hayat. Karena
prinsip ini memang menunjukkan realitas yang sama sekali tak dapat disanggah,
maka akhirnya prinsip ini diakui oleh semua pendidik, baik kalangan pendidik di
jalur PLS sendiri maupun yang di jalur persekolahan (pendidikan formal). Sejak
itu terjadilah perubahan paradigma atau pandangan mendasar tentang pendidikan.
Pendidikan yang semula sekedar diartikan sebagai upaya menolong atau membawa
anak kearah kedewasaan sebagaimana yang diajarkan oleh Langevelt, seorang pakar
pendidikan Belanda, berubah menjadi upaya untuk mengem-bangkan potensi manusia.
Dengan
prinsip tersebut, maka pendidikan tidak lagi dibatasi oleh waktu dan tempat,
baik saat dan tempat terjadinya belajar itu sendiri maupun kesempatan pihak
pelaku belajar untuk memenuhi kebutuhan belajarnya. Dengan kata lain,
pendidikan bisa terjadi dalam 24 jam dan dilakukan pada usia berapapun dan di
tempat manapun. Hal ini memberikan konsekuensi bahwa layanan pendidikan harus
dapat diberikan kapan saja dan di manapun juga, termasuk saat dimulai dan
diakhirinya layanan tersebut beserta lokasinya. Belajar tidak boleh terkendala
oleh kekurangtersediaan tempat belajar. Belajar bisa dilakukan di sekolah,
rumah, balai desa, masjid, kantor, pertokoan, pasar, stasiun kereta api,
bengkel, arena olah raga, kebun, mobil, perahu, ataupun pesawat udara.
PLS
melainkan juga di dunia pendidikan dan kalangan yang lain dewasa ini.
4.
Peserta Didik dan Pendidik PLS
Untuk
menjadi peserta didik PLS pada dasarnya tidak ada persyaratan yang ketat.
Siapa pun yang sadar bahwa dirinya butuh belajar tentang sesuatu hal agar dapat
melaksanakan tugasnya secara lebih baik dapat memposisikan diri sebagai peserta
didik.
Vembriarto
(1981) mengklasifikasikan peserta didik PLS berdasarkan beberapa kategori,
antara lain jumlah, usia, profesi, dan tempat tinggal. Berdasarkan jumlah,
mereka dapat dibedakan menjadi individu, kelompok, dan masyarakat. Berdasarkan
usia, mereka dapat dibedakan menjadi anak usia dini, pemuda, orang dewasa, dan
orang lanjut usia. Berdasarkan profesi, mereka bisa terdiri atas petani,
pedagang, pegawai, perawat, pendidik, dan sebagainya. Selanjutnya berdasarkan
tempat tinggal, mereka bisa terdiri atas masyarakat perkotaan, pedesaan, sub
urban, dan daerah terpencil.
Selanjutnya
berkenaan dengan sumber belajar, sehubungan dengan pandangan bahwa setiap orang
terutama orang dewasa memiliki pengalaman, maka proses pembelajaran di dalam
PLS berlangsung secara sharing (bertukar atau berbagi pengalaman).
Untuk
menjadi instruktur suatu pelatihan atau kursus, yang lebih diutamakan bukan
semata-mata tingkat pendidikan atau ijazah melainkan pengalaman, kompetensi,
dan kreativitasnya.
Secara
keseluruhan, gambaran tentang siapa pendidik dan peserta didik di atas
mencerminkan berlakunya konsep multi exit dan multi entry pada program PLS.
Artinya program-program PLS pada dasarnya merupakan program yang terbuka bagi
setiap orang untuk kapan dan di mana saja masuk menjadi peserta didik serta
kapan dan di mana saja berhenti atau keluar. Selanjutnya di dalam kegiatan PLS
di Indonesia, peserta didik biasa disebut warga belajar, sedangkan pendidik
sering disebut tutor, fasilitator, pelatih, instruktur, penatar, sumber belajar,
nara sumber, widya iswara, ataupun pamong belajar.
5.
Tipe Program PLS
Boyle
(1981) membedakan program PLS dari segi perencanaannya kedalam tiga tipe,
yaitu (a) developmental, (b) institutional, dan (c) informational. Program developmental adalah program-program
pengembangan atau pemberdayaan, program yang ditujukan kepada masyarakat atau
komunitas untuk memberdayakan potensi mereka dalam mengatasi masalah kehidupan
bersama yang sedang mereka hadapi. Program institutional
adalah program-program yang diselenggarakan secara melembaga (teratur,
sistematis, dan agak ketat) yang ditujukan kepada peserta didik secara
individual untuk menguasai suatu keterampilan, kemampuan atau kompetensi
tertentu. Selanjutnya program informational
adalah program-program yang bertujuan menyampaikan atau menyebarkan informasi
baru guna mengembangkan wawasan, pengetahuan, atau kesadaran peserta didik.
Program
institutional bertujuan mengembangkan atau meningkatkan kinerja, kemampuan,
atau kompetensi peserta didik. Fokusnya adalah membawa peserta didik ke
penguasaan konten suatu pengetahuan, keterampilan atau sikap tertentu dari
suatu atau beberapa disiplin ilmu demi perkembangan kemampuannya mendatang.
Program
informational merupakan program penyampaian dan pertukaran informasi antara
pendidik dan peserta didik. Tujuannya adalah tersampaikannya suatu informasi
tertentu terutama informasi baru yang sangat esensial atau dibutuhkan oleh
peserta didik.
6.
Satuan dan Program PLS
Kemajuan
bidang PLS di Indonesia salah satunya ditandai oleh tercantumnya satuan dan
program PLS di dalam UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. Di pasal 26 ayat 4
undang-undang tersebut disebutkan bahwa satuan pendidikan nonformal antara lain
terdiri atas: Kursus, Kelompok Belajar (Kejar), Kelompok Bermain (Play Group),
Taman Penitipan Anak (TPA), Majelis Taklim, Pondok Pesantren, Sanggar Kegiatan
Belajar (SKB), dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Selanjutnya pada
pasal 26 ayat 3 dicantumkan pula bahwa program-program pendidikan nonformal
antara lain adalah: keaksaraan, kesetaraan, kecakapan hidup (life skills),
taman bacaan masyarakat, pendidikan kepemudaan, pemberdayaan perempuan, dan
pendidikan anak usia dini (PAUD).
Yang
dimaksud satuan disini adalah lembaga penyelenggara. Kursus merupakan lembaga
PLS yang menyelenggarakan program pendidikan kecakapan hidup dan biasanya
mengkonsentrasikan diri pada kecakapan hidup tertentu seperti bahasa, komputer,
montir, las, dan sebagainya. Kelompok bermain menyelenggarakan layanan pendidikan
untuk anak usia dini, terutama yang berusia sekitar 3-4 tahun. Taman penitipan
anak memberikan layanan pengasuhan untuk anak usia dini yang berusia 0-2 tahun.
Majelis taklim merupakan kelompok pengajian yang diselenggarakan di masjid,
mushalla, atau rumah penduduk untuk kaum muslimin dewasa. Kelompok pengajian
merupakan satuan pendidikan yang semakin dibanjiri oleh baik orang tua maupun
remaja di Indonesia karena mayoritas penduduknya beragama islam juga karena
sudah merupakan bagian dari kehidupan budaya masyarakat. Pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan agama islam yang berbasis kitab, terutama Kitab
Kuning, dan dalam mengikuti pengajiannya santri bermukim di pondok tersebut.
Selanjutnya
SKB adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan beberapa program PLS
seperti program kesetaraan, keaksaraan, dan kecakapanan hidup. Terakhir PKBM
merupakan lembaga PLS yang mempunyai fungsi yang sama dengan SKB tetapi
didirikanf diselenggarakan oleh masyarakat. Dengan terteranya satuan dan
program pendidikan nonformal di dalam USPN tersebut, ruang lingkup dan contoh
PLS di Indonesia menjadi lebih mudah dipahami oleh masyarakat luas.
7.
Beberapa Contoh Program Aktual PLS
Untuk
memberikan gambaran yang lebih konkret tentang program-program PLS, berikut
diketengahkan beberapa contoh program PLS yang dewasa ini tengah berkembang
dengan pesat di masyarakat.
1)
Program Keaksaraan
Program
keaksaraan adalah sebuah program yang dulu dikenal sebagai program
Pemberantasan Buta Huruf atau PBH. Saat ini program tersebut bernama program
Keaksaraan Fungsional atau KF. Di tataran internasional program tersebut
disebut Literacy Program. Sesuai dengan namanya, program ini dimaksudkan untuk
membantu warga masyarakat yang buta huruf untuk menjadi melek huruf. Buta huruf
disini diartikan sebagai buta aksara dan angka Latin. Setelah mengikuti program
ini peserta didik diharapkan mampu membaca, menulis, dan berhitung (calistung)
dan memanfaatkan kemampuan baca tulis tersebut untuk keperluan hidupnya
sehari-hari.
2)
Program Kesetaraan dan Homeschooling
Program
kesetaraan adalah program PLS yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan yang setara dengan pendidikan formal. Tingkat pendidikan formal yang
diacu kesetaraannnya adalah SD, SMP, dan SMA/SMK. Progam untuk kesetaraan SD
disebut Paket A, kesetaraan dengan SMP disebut Paket B, dan kesetaraan dengan
SMA/SMK disebut Paket C. Satuan pendidikan yang dijadikan wadah
penyelenggaraannnya adalah kelompok belajar (Kejar), sehingga program-program
tersebut juga
Selanjutnya
program homeschooling merupakan sekolah yang dilaksanakan di rumah. Fungsinya
adalah sebagai pendidikan kesetaraan, sedangkan pelaksanaannya menggunakan
format hybrid atau perpaduan antara pendidikan informal dan nonformal. Selain
ditangani sendiri oleh orang tua di rumah, keluarga juga mengundang guru-guru
privat untuk membantunya. Jenjang pendidikan yang diselenggarakan mulai dari
tingkat prasekolah, pendidikan dasar, hingga pendidikan lanjutan. Untuk
memperoleh pengakuan atas pencapaian hasil belajar anak pada setiap tingkat
pendidikan, keluarga berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan setempat untuk
mendapatkan sekolah afiliasi.
3)
Program Pelatihan dan Kursus
Di
dunia perusahaan, training dan sumber daya manusia dikesankan sebagai hal yang
sama. Keduanya sebetulnya tidak sama persis. Training merupakan kegiatan
pengembangan potensi sumber daya manusia khususnya tentang kompetensi,
sedangkan pengembangan sumber daya manusia berarti bagian yang mengurus ketenagaan
perusahaan, sehingga relain mengurus training juga peraturan ketenagaan,
pendataan, penerimaan, penempatan, dan sebagainya.
Kursus
agak berbeda dari pelatihan. Jika pelatihan terkait dengan kebutuhan
organisasi, maka kursus terkait dengan kebutuhan individu terlepas dari
kepentingan organisasi. Oleh karena itu kursus tumbuh dalam rangka memenuhi
aneka ragam kebutuhan belajar masyarakat, meskipun yang telah berkembang luas
di Lndonesia adalah bidang-bidang yang terutama terkait dengan kepentingan
mencari pekerjaan, membuka usaha, dan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi. Sedangkan pelatihan tumbuh untuk memenuhi kebutuhan peningkatan SDM
organisasi atau perusahaan.
4)
Program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
Program
PAUD adalah program pendidikan yang diperuntukkan anak usia dini (0-6 tahun).
Secara kelembagaan, program tersebut mencakup TPA (Taman Penitipan Anak) untuk
anak usia 0-2 tahun, Kelompok Bermain atau Play Group untuk anak usia 3-4
tahun, dan Taman Kanak-kanak (TK) untuk usia 5-6 tahun.
Layanan
pendidikan anak usia dini merupakan layanan pendidikan yang sangat berbeda
dari pendidikan untuk kelompok usia yang lain, seperti anak usia Sekolah Dasar,
usia remaja, ataupun orang dewasa.
Persoalan
besar yang sedang menjadi fenomena up to
date dan autentik di Indonesia saat ini terkait dengan PAUD adalah sebagian
besar orang tua kurang paham tentang apa dan bagaimana seharusnya mendidik anak
mereka. Padahal fungsi pendidikan di dalam keluarga bagi setiap anak terutama
pada usia dini adalah pendidikan informal, sebuah jalur pendidikan yang
dipandang sebagai pihak pertama dan utama yang memberikan landasan pembentukan bagi
kepribadian manusia Indonesia.
5)
Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skills)
Istilah
kecakapan disini diartikan sebagai sesuatu yang lebih luas dari sekedar
keterampilan. Istilah kecakapan mengandung unsur-unsur kecekatan, kesigapan,
dan kecepatan, bahkan kreativitas, kepekaan, ketepatan, ketuntasan, dan
kecerdasan dalam bertindak, sedangkan istilah keterampilan cenderung lebih
menekankan aspek motorik dan dikaitkan dengan kejuruan atau vokasional
(keterampilan kerja). Dengan demikian pendidikan kecakapan hidup mengarah ke
pencapaian tingkat kecakapan yang profesional.
Pendidikan
kecakapan hidup mencakup empat ranah, yaitu (a) kecakapan personal, (b)
kecakapan sosial, (c) kecakapan akademik, dan (d) kecakapan vokasional.
Kecakapan personal diartikan sebagai kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan oleh
setiap orang guna menghadapi persoalan-persoalan pribadi, seperti
kecakapan-kecakapan mengenali, menilai, mengendalikan, menyadarkan, dan
memperbaiki diri; kecakapan-kecakapan menjaga kesehatan diri, menjaga keamanan
diri, membagi waktu, mengambil keputusan, menentukan sesuatu yang paling urgen
bagi diri sendiri, dan mengatasi kebingungan diri sendiri; kecakapan-kecakapan
menentukan, mengarahkan, dan memperbaiki tujuan hidup; kecakapan-kecakapan
mengenal, memperbaiki, dan meningkatkan kualitas keyakinan dan pengabdian
terhadap tuhan; dan sebagainya.
Kecakapan
sosial diartikan sebagai kecakapan-kecakapan berinteraksi dengan orang lain,
seperti kecakapan memahami orang lain, kecakapan bertutur kata secara lisan
ataupun tertulis, kecakapan membawa acara, kecakapan berorasi, kecakapan
menyesuaikan kecakapan memotivasi orang lain, kecakapan membantu sesama, dan
kepekaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Kecakapan akademik berarti
kecakapan-kecakapan yang terkait dengan urusan akademik, mulai dari
kecakapan-kecakapan kognitif seperti memahami, membedakan, mengingat,
mengaitkan sesuatu, berfikir logis, menganalisis, merangkai pengertian,
menyimpulkan, menilai, mengembangkan penalaran, dan memecahkan masalah, hingga kecakapan-kecakapan
menangkap dan menemukan konsep, prinsip ataupun teori, serta
kecakapan-kecakapan menganalisis, menemukan, dan mengembangkan .gagasan
ataupun teori baru. Selanjutnya kecakapan vokasional adalah kecakapan-kecakapan
yang terkait dengan pekerjaan atau profesi, seperti kecakapan melaksanakan
tugas dengan baik dan benar, kecermatan dalam memeriksa pelaksanaan tugas,
kepekaan terhadap masalah-masalah pekerjaan, kesigapan dalam mengatasi masalah
keselamatan kerja, kreativitas dalam mengembangkan bidang tugas, dan kearifan
dalam memimpin lembaga kerja.
6)
Program Pemberdayaan Masyarakat
Program
pemberdayaan masyarakat adalah sebuah program yang dulu dikenal dengan istilah
pengembangan masyarakat (community
development) atau pembangunan masyarakat desa (rural development). Program tersebut saat ini mengacu ke istilah
yang baru, yaitu community empowerment.
Secara konseptual, program ini sejalan dengan tipe program developmental yang
diketengahkan oleh Boyle (1981). Yang menjadi sasarannya adalah komunitas dan
yang menjadi inti kegiatannya adalah membantu untuk mengatasi masalah yang
sedang mereka hadapi bersama. Cara yang ditempuh dalam hal ini adalah
mengembangkan potensi, kapasitas, atau kemampuan komunitas yang bersangkutan,
baik kapasitas individu, kelompok, ataupun kelembagaannya, sedangkan target
keluarannya adalah meningkatnya kemampuan masyarakat dalam mengatasi masalah
tersebut.
Oleh
karena itu yang diberdayakan adalah kapasitas komunitas, termasuk potensi
individu, organisasi, dan lingkungannya. Pemberdayaan dilakukan dalam bentuk
pembimbingan ke arah pemecahan masalah dan bukan dalam bentuk pemberian solusi
slap pakai, atau "hidangan siap santap". Komunitas digugah
kesadarannya terhadap masalah yang sedang mereka hadapi dan dampaknya bila
masalah tersebut tidak segera diatasi, serta potensi yang mereka miliki atau
fasilitas yang bisa dimanfaatkan, dimotivasi untuk bersedia dan berupaya
mengatasi masalah tersebut, dibantu mengidentifikasi potensi atau sumber daya
yang ada pada diri mereka dan di lingkungannya, dan dibimbing ke arah penemuan
solusi yang tepat, serta diberi pendampingan dalam proses penuntasan
masalahnya.
7)
Program Pengentasan Anak Jalanan
Masalah
anak jalanan di Indonesia dewasa ini semakin mengemuka, terutama di kota-kota
besar. Jumlah mereka semakin bertambah. Rujukan penanganannya tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 34 ayat (1) yang berbunyi: "Fakir miskin
dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara". Implementasi penanganannya
telah dilakukan oleh berbagai pihak, namun secara keseluruhan belum menampakkan
hasil yang berarti. Segi-segi penanganan yang dibutuhkan beraneka ragam, di
antaranya adalah sosial-ekonomi, keamanan, budaya, dan keagamaan. Masalah anak
jalanan di Indonesia tampaknya merupakan masalah yang sangat kompleks karena
terkait dengan ketakberdayaan sosial ekonomi, sosial psikologis, kultural,
edukatif, dan bahkan sumber daya manusia nasional. Oleh karena itu untuk bisa
mengatasinya secara lebih tuntas diperlukan pemikiran yang lebih serius dan
penanganan yang lebih menyeluruh.
BAB II
KONSEP DASAR METODE PEMBELAJARAN
DALAM PLS
1.
Pendidikan, Pembelajaran, Pelatihan, dan Belajar
Pendidikan,
pembelajaran, dan belajar pada dasarnya merupakan suatu kesatuan yang saling
melengkapi dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Telah diketengahkan
sebelumnya bahwa pendidikan pada dasarnya dapat diartikan sebagai serangkaian
upaya untuk mengembangkan potensi manusia.
Di
dalam pendidikan, pembelajaran, dan pelatihan terdapat proses belajar,
sedangkan di luar ketiganya proses belajarpun terjadi.
Hal
ini semua memberikan makna bahwa dalam kehidupan manusia, belajar merupakan
kegiatan yang paling esensial dan sekaligus paling alamiah. Jika di dalam
pendidikan, pembelajaran, ataupun pendidikan terjadi perekayasaan atau campur
tangan pihak lain untuk terjadinya proses belajar, maka di luar ketiganya
belajar terjadi atas inisiatif peserta didik sendiri. Dengan demikian ada
ataupun tidak ada pendidikan, pembelajaran, dan pelatihan, belajar bisa tetap
berjalan. Sebaliknya pelaksanaan pendidikan, pembelajaran, dan pelatihan
merupakan suatu kegiatan yang tidak ada artinya jika tidak terjadi proses
belajar di dalamnya.
Selain
itu, pelatihan dan pembelajaran yang benar adalah pelatihan dan pembelajaran
yang mendidik. Pelatihan dan pembelajaran yang mendidik adalah pelatihan dan
pembelajaran yang mengembangkan potensi peserta didik. Oleh karena itu tidak
benar jika mengajar hanya diartikan sebagai kegiatan menyampaikan pengetahuan,
atau bahkan kegiatan yang sekedar membuat seorang murid (dari tidak tahu)
menjadi tahu, sebuah pemahaman yang ditemukan penulis pada kebanyakan para guru
di Lndonesia. Mengajar seharusnya bukan sekedar kegiatan menyampaikan
pengetahuan, melainkan sekurang-kurangnya berbagai upaya untuk mengembangkan
wawasan.
Dengan
demikian, tugas pendidik tidak hanya berhenti sampai menginformasikan
pengetahuan, melainkan sampai betul-betul berkembangnya wawasan peserta didik.
Dengan kata lain, pendidik bertanggung jawab atas berkembangnya kemampuan
kognitif peserta didik secara optimal yang berarti selain berpengetahuan luas
juga kreatif, kritis, dan berkemampuan nalar yang kuat. Selanjutnya tugas
pelatih juga tidak hanya berhenti sampai memberikan atau menyampaikan
keterampilan, melainkan sampai pada benar-benar berkembangnya keterampilan
peserta pelatihan. Pelatih bertanggung jawab atas berkembangnya kemampuan
psikomotorik peserta pelatihan secara optimal yang berarti pelatihan berakhir
jika peserta pelatihan telah benar-benar menguasai keterampilan yang
ditargetkan. Bahkan jika pendidikan diakui sebagai upaya pengembangan
kepribadian, maka pembelajaran dan pelatihan pun juga mempunyai tanggung jawab
untuk menjadikan pengembangan wawasan ataupun keterampilan tersebut sebagai
bagian dari kepribadian peserta didik, atau bahkan juga mengisikan nilai-nilai
pendidikan (nilai-nilai luhur seperti kedisiplinan, kejujuran, tanggung jawab,
dan sopan santun) dalam proses pembelajaran dan pelatihan tersebut.
2.
Hakikat Belajar
Secara
singkat belajar dapat diartikan sebagai upaya untuk mengembangkan potensi diri
sendiri. Potensi yang dikembangkan bisa pengetahuan, keterampilan, ataupun
sikap dan nilai. Cara untuk mengembangkan potensi diri bisa berupa upaya
menghafal, memahami, mencermati, mengkritisi ataupun menalar suatu hal, bisa
juga berupa melatih diri untuk menguasai keterampilan tertentu, membiasakan
diri untuk melakukan sesuatu hal, menyadari hakikat sesuatu nilai, atau bahkan
sengaja mengubah diri secara mendasar. Apabila dikaji lebih lanjut, belajar
pada dasarnya adalah peristiwa psikhis, perubahan kemampuan, upaya aktif,
kegiatan manusia, sebuah proses, bahkan kebutuhan.
Belajar Adalah Peristiwa Psikhis
Belajar
adalah sebuah peristiwa yang terjadi di dalam diri atau jiwa manusia (Zimbardo,
1980). Dikatakan peristiwa karena proses terjadinya sesungguhnya sangat
kompleks. Antara aspek yang satu dan aspek lain dari psikhis manusia saling
terkait. Jiwa manusia itu abstrak, dinamis, dan sekaligus unik. Jiwa adalah
sosok yang terdiri atas beberapa fungsi (pikiran, ingatan, fantasi, perhatian,
tanggapan, perasaan, kehendak, watak, sikap, dll) atau beberapa daya (cipta,
rasa, dan karsa).
Berkenaan
dengan tipe belajar, seseorang bisa terkategori salah satu atau lebih dari 3
tipe, yaitu visual, auditif, ataupun kinestetik. Orang yang bertipe visual
lebih cepat menangkap informasi melalui pengamatan. Orang yang bertipe auditif
lebih mudah menangkap informasi melalui pendengaran. Sedangkan orang yang
bertipe kinestetik lebih peka menangkap informasi dalam nuansa gerak, sesuatu
yang bergerak, atau sambil melakukan gerak fisik.
Belajar Adalah Perubahan Kemampuan
Sebagian
ahli berpendapat bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku. Yang dimaksud
tingkah laku disini bukan semua gerak-gerik seseorang ataupun sikap melainkan
tindakan yang menunjuk pada kemampuan untuk melakukan sesuatu hal.
Sebagian
ahli yang lain memiliki pandangan bahwa belajar bukanlah perubahan tingkah
laku, melainkan perubahan pemahaman.
Proses
perubahan pemahaman adalah proses kognitif, sebuah proses yang kompleks yang
terjadi di dalam kognisi setiap orang. Di dalam proses ini diharapkan terjadi
perubahan pemahaman. Perubahan pemahaman tersebut dapat digambarkan sebagai
sebuah proses sebagaimana yang dikemukakan dalam teori pemrosesan infor-masi
(Dahar, 1989). Menurut teori ini, dalam melaksanakan tugas pemrosesan
informasi, kognisi memiliki empat komponen pokok yaitu ingatan jangka pendek (short term memory), ingatan jangka panjang
(long term memory), harapan, dan kontrol eksekutif.
Belajar Adalah Upaya Aktif
Belajar
efektif dicapai dengan upaya aktif dari pelaku belajar. Semakin aktif seseorang
berupaya, semakin optimal keefektivan belajarnya. Belajar yang dilatari
motivasi yang kuat membuahkan hasil yang optimal. Belajar yang dilakukan karena
sadar akan pentingnya belajar akan lebih tahan lama berlangsung ketimbang yang
tidak karena kesadaran.
Pendidik
tidak bisa memaksa terjadinya peristiwa belajar pada diri peserta didik. Proses
belajar yang dilakukan secara terpaksa tidak dapat membuahkan hasil yang
hakiki. Selaku pihak eksternal, pendidik hanya bisa mendorong, membantu dan
mengarahkan, tetapi penentu akhir tetap pihak warga belajar. Oleh karena itu
yang dapat mengupayakan terjadinya belajar pada dasarnya hanya peserta didik
sendiri dan pendidik hanya dapat membantu mereka agar melakukan kegiatan
belajar dengan efisien dan efektif.
Belajar Adalah Kegiatan Manusia
Belajar
pada dasarnya adalah kegiatan manusia. Selain manusia, makhluk yang dapat
melakukan kegiatan belajar hanyalah hewan, itupun sangat terbatas dan hanya
hewan tertentu (Dahar, 1989).
Manusia
dilahirkan dalam keadaan tidak berdaya, tetapi di balik ketidak-berdayaannya
tersimpan potensi-potensi yang amat luar biasa. Di antara potensi yang paling
menonjol pada manusia adalah akal. Manusia lahir bukan dengan bekal instink
melainkan potensi. Dengan potensi itu, manusia yang ketika masih bayi tidak
bisa berbuat apa-apa setelah diasuh secara benar mengalami perkembangan yang
luiar biasa, hingga akhirnya menjadi "makhluk penguasa" di bumi.
Belajar Adalah Sebuah Proses
Proses
belajar pada dasarnya serangkaian peristiwa yang berlangsung dalam suatu kurun
waktu tertentu. Belajar tidak bisa terjadi secara instan (Rogers, 2005).
Belajar yang dilakukan berulang kali dengan satuan-satuan waktu yang pendek
lebih efektif ketimbang belajar yang dilakukan hanya sekali-sekali dalam waktu
yang lama.
Bclajar
memerlukan waktu untuk meresapi atau mengendapkan hal-hal yang dipelajari.
Belajar merupakan sebuah proses pembangunan struktur kognitif. Dalam hal ini
kecepatan belajar seseorang bisa berbeda dari kecepatan belajar orang lain.
Sebagian orang mampu memahami sesuatu dalam waktu relatif singkat, sebagian
yang lain memerlukan waktu yang lebih panjang. Oleh karena itu pembelajaran
tidak akan bisa efektif bila dilakukan secara dipaksakan atapun secara borongan
(rapelan). Oleh sebab itu program akselerasi dalam pendidikan sebenarnya tidak
bisa diartikan sebagai program pemangkasan masa studi yang dilakukan secara
melembaga dan dikenakan kepada semua peserta didik. Yang lebih tepat adalah
penyediaan layanan pembelajaran yang memberi kesempatan kepada semua peserta
didik untuk menyelesaikan masa studinya sesuai dengan irama dan kecepatan
belajar masing-masing.
Belajar adalah Kebutuhan
Belajar
yang dilakukan karena kebutuhan akan jauh lebih bermakna, lebih bersemangat,
lebih tahan lama, dan lebih memberikan hasil optimal ketimbang belajar yang
dikarenakan ikut-ikutan atau bahkan terpaksa. Oleh karena itu menjadi kewajiban
seorang pendidik luar sekolah untuk selain mengetahui dengan pasti terdapatnya
kebutuhan belajar pada peserta didik, juga mengarahkan peserta didik agar
belajarnya dilakukan karena kebutuhan, atau menjelaskan bahwa apa yang akan
dipelajari bersama pendidik merupakan kebutuhan mereka.
Sebagian
orang ada yang memang sudah menyatakan keinginan untuk belajar. Yang menjadi
persoalan adalah kebutuhan tidak selalu sama dengan keinginan. Yang lebih
disadari dan dirasakan pada umumnya adalah keinginan. Keinginan dapat dirasakan
tetapi kebutuhan hanya bisa dicermati atau dianalisis. Yang bisa melakukan
analisis kebutuhan belajar bukan hanya orang lain, tetapi sebenarnya juga diri
sendiri. Orang lain memang relatif lebih mudah untuk melakukannya karena tak
mempunyai kepentingan atau tak terikat oleh perasaan tentang apa yang
dikehendaki. Untuk memperoleh kepastian tentang kebutuhan belajar bisa
dilakukan konsultasi dengan pendidik luar sekolah yang profesional.
Terkait
dengan arah belajar seseorang di era informasi dewasa ini, Unesco
merekomendasikan 4 pilar belajar yaitu learning
to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together
(Hatimah, 2007). Learning to know
berarti belajar bertujuan untuk mengetahui sesuatu hal, atau dengan kata lain
belajar untuk memperoleh atau menguasai ilmu pengetahuan. Learning to do berarti belajar untuk mampu mengerjakan sesuatu,
atau dengan kata lain belajar untuk menguasai kompetensi tertentu. Learning to be berarti belajar untuk
menemukan jati diri atau belajar untuk mengaktualisasikan
Selanjutnya
learning to live together berarti
belajar untuk bisa hidup bersama orang lain atau dengan kata lain belajar untuk
bekerjasama dan berdampingan secara harmonis dengan orang yang mempunyai
perbedaan minat, sifat, pengalaman, kemampuan, budaya dan lain-lain.
3.
Proses Belajar Orang Dewasa
Dunia
kehidupan orang dewasa adalah dunia kehidupan yang riel, artinya bukan dunia
imajinasi seperti dunia orang yang sedang berkhayal atau bermimpi, dan bukan
pula dunia permainan seperti dunia kehidupan anak-anak. Orang dewasa telah
berada dalam suatu kenyataan hidup yang menuntutnya untuk menanggung segala
resiko dari apapun yang mereka lakukan, menentukan sendiri segala keputusan
untuk urusan apapun, dan sebagainya. Resiko kehidupan yang nyata itu merupakan
konsekuensi logis dari pilihan hidup orang yang bersangkutan dan bisa merupakan
pilihan antara hidup atau mati. Dengan demikian mau tidak mau mereka harus
mampu berbuat dan mampu menerima segala kenyataan yang mereka hadapi. Orang dewasa
yang belum siap memasuki dunia seperti itu bisa mengalami shock atau
keterkejutan mental.
Dunia orang dewasa memang sangat berbeda dari dunia anak.
Masa
anak adalah masa bermain, kalaupun belajar tentang kecakapan hidup, belajar
tersebut dilakukannya sebagai sesuatu yang tidak beresiko fatal atau bahkan
terbatas dalam nuansa bermain sehingga resikonya adalah resiko main-main. Oleh
karena itu kejiwaan orang dewasa merupakan kejiwaan yang penuh dengan
persoalan, mulai dari persoalan yang paling kecil hingga persoalan yang paling
besar. Kejiwaan mereka penuh dengan jerih payah dan pahit getir kehidupan,
bahkan penuh juga dengan pengalaman gagal dan berhasilnya kehidupan. Mappiare
(1983) mengetengahkan bahwa masa dewasa yang oleh Hurlock dibagi menjadi masa
dewasa awal, tengah, dan lanjut itu kesemuanya merupakan masa yang penuh dengan
persoalan hidup. Masa dewasa awal terutama berkenaan dengan penyesuaian
psikologis dalam pergantiannya dari masa remaja ke dewasa, masa tengah baya
mulai dihadapkan dengan masalah penuaan fisik, dan masa dewasa lanjut atau
akhir dihadapkan dengan masa yang semakin rentan dan semakin berbeda dengan
keinginan. Karena itu wajar jika hal yang menarik untuk dipelajari bagi orang
dewasa adalah sesuatu yang berkenaan dengan permasalahan hidup dan kehidupan,
kisah-kisah sukses, cara-cara menghadapi suatu masalah, terutama masalah
ekonomi, bahkan kiat-kiat hidup yang lebih bermakna yang bisa segera mereka
pergunakan.
Proses
belajar yang disadari atau didasarkan atas kesadaran mencakup beberapa tahap.
Pertama adalah "Reflection on action" atau refleksi terhadap
tindakan, tahap dimana seseorang merefleksikan atau merenungkan apa yang
sesungguhnya sedang terjadi, mengapa hal itu bisa terjadi, dan apa kira-kira
akibat atau dampaknya. Pengetahuan dan gagasan hanya muncul dari suatu situasi
yang bisa diambil hikmah (makna atau manfaat) nya oleh orang yang bersangkutan
dengan mempertanyakan hal-hal tersebut. Hal ini mendorong seseorang untuk
melangkah ke tahap yang berikutnya, yaitu "Get self-awareness" atau
memperolehan kesa-daran diri. Pertanyaan yang muncul adalah apa yang telah saya
lakukan sehingga peristiwa tersebut terjadi, kekeliruan apa yang telah saya
lakukan dalam hal ini, seberapa besar kesalahan saya, dan sebagainya. Terjadinya
suatu peristiwa memang bisa disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi
mempertanyakan kontribusi diri terhadap persoalan tersebut merupakan hal yang
sangat penting untuk memperoleh kesempatan belajar. Jalan pikiran ini bahkan
bisa melahirkan kesadaran tentang tanggung jawab seseorang terhadap peristiwa
tadi.
Tahap
selanjutnya adalah "Establish the need for change" Rau kebutuhan
untuk mengubah tingkah laku dirinya sendiri. seseorang yang telah paham
terhadap apa yang terjadi dan menyadari bagaimana keterlibatan atau kekeliruan
dirinya dalam peristiwa yang bersangkutan tetapi tidak menemukan kebutuhan
untuk perubahan tingkah lakunya sendiri tidak akan mengalami perubahan pada
dirinya. Kebutuhan merupakan energi untuk terjadinya suatu perubahan. Kebutuhan
diperlukan untuk mempengaruhi perubahan, untuk belajar dan mencoba sesuatu yang
baru. Dari sini proses belajar berlanjut ke tahap "Plan" atau membuat
rencana tindakan dan mengimplementasikannya. Energi untuk terjadinya perubahan
atau hal-hal baru perlu disalurkan ke arah rencana yang memungkinkan atau
kongkret. Seseorang oleh berkeinginan untuk melakukan perubahan tindakan, akan
tetapi ia akan sangat berpeluang untuk melakukan kesalahan kembali jika
keinginannya itu tidak dituangkan kedalam sebuah rencana. Oleh karena itu
berdasark an sebuah rencana, seseorang memungkinkan untuk berlanjut ke tahap
selanjutnya, yaitu "New action" atau tindakan baru. Hanya bila
berakhir dengan dilakukannya tindakan barumaka suatu proses belajar betul-betul
bermakna bagi kehidupan orang dewasa.
Selanjutnya
gaya belajar dari Kolb (2004) divisualisasikan sebagai berikut. Kolb menyebut
gaya belajarnya sebagai learning style model atau experiential learning theory.
Diagram
di atas menunjuk pengalaman sebagai basis setiap kegiatan belajar orang dewasa.
Pengalaman itu sendiri dipandang sebagai suatu kesatuan yang dihasilkan oleh
empat unsur esensial tindakan manusia, yaitu feeling, thinking, watching, dan
doing. Dengan demikian, keempat unsur tindakan ini harus ada pada setiap
kegiatan belajar apapun. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini diberikan
melalui visualisasi sebagai berikut.
Pertama-tama,
dua aspek (watching dan doing) dihubungkan dengan garis kontinum "grasping
experience" untuk terjadinya proses perolehan pengataman, kemudian dua aspek
lainnya (feeling dan thinking) dihubungkan dengan garis kontinum
"transfoming experience" guna menterjadikan proses transformasi
pengalaman. Hal ini memberikan makna bahwa pengalaman pada dasarnya merupakan
substansi yang sarat makna dan hanya bisa diperoleh dari kegiatan melihat dan
melakukan, sedangkan perubahannya merupakan sebuah proses yang hanya bisa
dimungkinkan dengan pelibatan aspek pikiran dan perasaan. Tentu saja bahwa
keempat unsur tersebut masing‑masing mencakup kandungan yang mendalam. Hal ini
sesuai dengan makna transformasi sebagai perubahan yang mendasar. Perasaan
misalnya, tidak hanya semata-mata menyangkut dimensi perasaan yang berada pada
tataran jasmaniah atau fisik tetapi juga dimensidimensi perasaan rohaniah,
termasuk kesan, sikap, nilai dan keyakinan.
Selanjutnya
keempat aspek tersebut di atas dikaitkan dengan 4 tahap siklus belajar yang
terdiri atas "concrete experience", "abstract experience",
"reflective observation" dan "active experimentation". Hal
ini melahirkan serangkaian pemahaman bahwa feeling membuahkan "concrete
experience", thinking membuahkan "abstract experience", watching
membuahkan "reflective observation" dan doing membuahkan
"active experimentation". Selanjutnya dinamika interaksi keempat
aspek dan keempat tahap siklus belajar tersebut melahirkan empat perpaduan
aktivitas, yaitu diverging (feet Et watch), assimilating (think Et watch),
converging (think Et do), dan accomodating (feel Et do). Terakhir, keempat
paduan dan keempat tahap siklus belajar tadi dihubungkan oleh garis kontinum
processing dan perception.
4.
Hakikat Pembelajaran
Secara
umum pembelajaran diartikan sebagai serangkaian upaya yang dilakukan pendidik
untuk membantu peserta didik belajar. Secara lebih lugas pembelajaran bahkan
diartikan sebagai upaya membuat peserta didik belajar, tetapi dalam PLS
pengertian lugas semacam ini kurang bisa diterima karena bertentangan dengan
konsep andragogi yang berprinsip partisipatif. Dalam konsep pedagogi pun
penggunaan pengertian secara lugas tersebut bisa menjebag pendidik ke pemahaman
yang menempatkan peserta didik sebagai obyek (bukan subyek), membuat peserta
didik pasif, sehingga kurang mampu mengoptimalkan perkembangan potensi peserta
didik. Dari sini jelas bahwa tugas pendidik sebenarnya hanya membantu atau
menggiring peserta didik untuk betul-betul melakukan kegiatan belajar atas
dasar kemauan dan kesadaran diri. Diyakini bahwa proses belajar merupakan
proses internal diri peserta didik sehingga hanya bisa terjadi bila peserta
didik mau melakukannya.
Pengertian
membantu atau menggiring tersebut memang tentu tidak terbebas dari kegiatan
penyampaian informasi atau pengetahuan. Pendidik tetap menyampaikan
pengetahuan (faktual, konseptual, prosedural, dan prinsip) beserta rangkaian
kegiatan selengkapnya seperti membantu penyediaan bahan yang dibutuhkan,
mendorong peserta didik untuk lebih bersemangat dalam memproses informasi tadi,
dan mengevaluasi apakah proses belajar telah terjadi pada diri peserta didik,
akan tetapi terjadi tidaknya proses belajar pada diri peserta didik adalah
ditentukan oleh peserta didik itu sendiri. Hal ini harus betul-betul dipahami
dan disadari oleh setiap pendidik agar pendidik luar sekolah tidak terjebak
kedalam sebuah upaya yang sekedar menyampaikan informasi bahkan tanpa
menindaklanjutinya dengan pengecekan apakah informasi yang telah disampaikan
telah betul-betul diproses oleh dan menjadi milik peserta didik atau belum.
Tanggung jawab pendidik dalam hal penyampaian informasi sekurangkurangnya
sampai pada betul-betul terjadinya proses belajar pada diri peserta didik,
meskipun yang menjadi penentu akhir terjadinya proses belajar tersebut adalah
peserta didik itu sendiri. Ini semua menggambarkan pemahaman yang utuh tentang
pembelajaran sebagai konsep yang sama sekali berbeda dari konsep yang lama
yaitu pengajaran.
Selama
pelaksanaan pembelajaran banyak keputusan yang harus diambil pendidik, seperti
keputusan-keputusan tentang apa saja yang harus dikatakan dan dilakukan pada
bagian pendahuluan, begitu juga pada bagian inti, serta bagian akhir
pelaksanaan pembelajaran, apa saja yang harus dilakukan agar perhatian semua
peserta didik tetap terfokus kepada penjelasan yang ia sampaikan, agar mereka
paham, dan berpartisipasi dalam semua kegiatan belajar yang telah ia rencanakan,
sikap apa yang harus diambilnya jika media pembelajaran tidak dapat
difungsikan sebagaimana mestinya, atau siswa tidak merespon sebagaimana yang ia
harapkan, atau jika terdapat hal-hal yang tidak diduga dan dapat mengganggu
jalannya pembelajaran, dan seterusnya.
Kemudian
di bagian akhir pendidik juga masih harus mengambil keputusan-keputusan tentang
apakah pertanyaan yang direncanakan harus ditanyakan semua, kepada peserta
didik mana pertanyaan tersebut diajukan, bagaimana cara mengajukannya,
bagaimana cara menyikapi jawaban peserta didik, tugas apa yang akan diberikan
kepada peserta didik untuk dikerjakan di kelas dan di rumah, dan sebagainya.
Jadi memang ternyata banyak sekali keputusan-keputusan yang hams diambil dan
diimplementasikan oleh setiap pendidik dalam pelaksanaan tugasnya mengajar. Hal
ini merupakan suatu kemampuan yang cukup diketahui untuk bisa langsung
dipraktikkan. Kemampuan ini hanya bisa dikuasai dengan latihan terlebih dahulu
dan bahkan pengalaman dalam kurun waktu yang tidak sedikit untuk pelaksanaan
pembelajaran yang profesional.
Perspektif
di atas menunjukkan peristiwa psikologis yang sesungguhnya terjadi pada diri
setiap pendidik ketika sedang melaksanakan tugas mengajar. Pembelajaran yang
terangkai dengan keputusankeputusan profesional menuntut pendidik
mengintegrasikan keputusannya secara kontekstual dan artistik (seni mengajar)
dengan konten yang diajarkan. Rangkaian artistik semacam ini menjadikan
tindakan mengajar sebagai tindakan yang lebih profesional. Dengan menyadari dan
mengimplementasikan pola psikologis yang seperti itu, pendidik akan menjadi
seseorang yang profesional. Pembelajaran memang merupakan suatu kegiatan yang
harus dilaksanakan secara profesional.
Hal
ini selain karena berkenaan dengan pengembangan potensi manusia, pembelajaran
juga dituntut untuk mengikuti pola profesi dewasa ini yang menuntut
akuntabilitas (pertanggung-jawaban). Sebagaimana dinyatakan Hunter (1994):
"Now, adequate professional teacher preparation parallels that of other
professions like medicine." Jadi setiap kegiatan pembelajaran pada
khususnya dan pendidikan pada umumnya tidak lagi bisa dilaksanakan secara asalasalan
seperti yang banyak terjadi di masa-masa yang lalu. Pembelajaran yang tidak
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya akan merupakan sumber pemborosan dan bahkan
tindakan pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Perlu
ditekankan disini bahwa dalam konteks PLS, hakikat pembelajaran mempunyai
makna yang tersendiri. Fungsi pembelajaran dalam PLS pada dasarnya adalah
menfasilitasi pertumbuhan dan perkembingan diri peserta didik sehingga lebih
mampu berperan dalam kehidupannya secara profesional, sosial, dan politis.
Proses pembelajaran orang dewasa memang merupakan proses yang sangat kompleks
terkait dengan kompleksitas kejiwaan orang dewasa dan variasi setting yang bisa
terjadi dalam transaksi pembelajaran orang dewasa itu sendiri. Dengan demikian
dimensi belajar yang mendapat sentuhan dalam pembelajaran PLS bukan hanya
psikologis, melainkan juga dimensi-dimensi lain seperti sosial, kultural,
ekonomi, hukum, dan bahkan politis sesuai dengan konteks persoalan dan
kebutuhan belajar peserta didik yang bersangkutan.
5.
Prinsip Pembelajaran
Kegiatan
pendidikan luar sekolah diadakan adalah untuk melayani atau memenuhi kebutuhan
belajar masyarakat. Karena itu dapat dikatakan bahwa pendidik luar sekolah pada
dasarnya adalah pelayan. Dalam konteks yang seperti ini, maka yang menjadi raja
adalah peserta didik. Semua kegiatan yang dilakukan oleh pendidik selaku
pelayan harus bisa memuaskan pihak yang dilayani.
Kebutuhan
belajar pada dasarnya adalah suatu kebutuhan seorang atau sekelompok peserta
didik untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, atau sikap tertentu agar mampu
atau lebih mampu dalam melaksanakan tugas atau peran tertentu. Kebutuhan
belajar ditandai dengan adanya kesenjangan antara kemampuan yang diharapkan
dan kemampuan yang dimiliki seseorang atau komunitas untuk melaksanakan suatu
tugas atau peran sosial tertentu secara optimal. Dengan kata lain, kebutuhan
belajar merupakan suatu keharusan belajar bagi seseorang, sekelompok orang,
atau sebuah komunitas yang disebabkan oleh adanya gap, jarak, atau perbedaan
antara kemainpuan nyata dan kemampuan yang dituntut untuk dapat melaksanakan
suatu tugas. Oleh karena itu setiap kebutuhan belajar pada dasarnya bersifat
mendesak, karena jika tidak dipenuhi, maka akan menimbulkan ketidaktertaksanaan
suatu tugas. Sebagai akibatnya adalah terjadinya kerugian dan akibat-akibat
negatif yang lain karena ketidak-terlaksanaan tugas dimaksud sebagaimana
mestinya.
Proses
penentuan ada-tidaknya kebutuhan belajar pada diri seseorang, kelompok, atau
komunitas dan kemampuan-kemampuan tertentu yang perlu dipelajari sebagaimana
ditunjukkan oleh kebutuhan belajar tersebut adalah proses analisis kebutuhan belajar.
Dengan kata lain, analisis kebutuhan belajar adalah poses pengidentifikasian
atau pemetaan tentang actual performance
dan required performance (Kroehnert,
2000).
Kebutuhan
belajar dapat diidentifikasi melalui sejumlah indikator. Dalam konteks
pekerjaan, informasi tentang gap tersebut di atas dapat dilacak dari beberapa
hal, seperti kedudukan, performansi ataupun capaian pelaksanaan tugas, persoa
lan - persoalan terkait dengan pelaksanaan tugas, rincian/deskripsi tugas,
tingkat kehadiran, dan sebagainya. Berkaitan dengan kedudukan, misalnya
kedudukan yang diperoleh tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan ataupun
pengalamannya sehingga yang bersangkutan merasa tertekan. Berkenaan dengan
pelaksanaan tugas, misalnya tugas yang dilaksanakan tidak sesuai dengan harapan
pimpinan karena adanya perbedaan persepsi antara kedua belah pihak.
Persoalan-persoalan di tempat kerja bisa menyangkut persoalan-persoalan
hubungan sosial, pribadi, budaya, ekonomi, politik, agama dan sebagainya. Terkait
dengan deskripsi tugas bisa berupa masalah deskripsi tugas yang menimbulkan
overlap (tumpang tindih), tidak terkomunikasikan dengan balk, terlalu sering
berubah, dan sebagainya. Soal tingkat kehadiran bisa berupa terlalu ketatnya
aturan, terlalu kerasnya sanksi, penilaian dan perlakuan yang tidak sama
terhadap seseorang dan orang yang lain.
6.
Metode Pembelajaran dalam PLS dan
Penggunaannya
1)
Pengertian Metode Pembelajaran
Metode
pembelajaran pada dasarnya dapat diartikan sebagai cara-cara yang perlu dipilih
dan digunakan untuk mengoptimalkan ketercapaian tujuan pembelajaran. Dengan
kata lain, metode pembelajaran merupakan serangkaian cara untuk
mengoptimalkan proses dan hasil belajar peserta didik.
2)
Penggunaan Metode Pembelajaran
Metode
pembelajaran di sini diartikan sebagai
serangkaian pertimbangan, keputusan, dan tindakan terkait dengan pendekatan,
strategi, dan teknik tertentu yang perlu dipilih dan digunakan untuk
mengoptimalkan tercapainya tujuan pembelajaran.
Seorang
pendidik luar sekolah perlu memperkirakan bahwa untuk mencapai sebuah tujuan
pembelajaran tertentu secara optimal dibutuhkan pendekatan, strategi, dan
teknik pembelajaran apa saja. Selanjutnya setelah mengimplementasikan keputusan
tersebut pendidik melakukan evaluasi terhadap keefektivan, efisiensi, dan daya
tank metode tersebut.
Setiap
pendidik luar sekolah dituntut memiliki beberapa kemampuan strategis. Di antaranya
adalah wawasan yang luas, penalaran yang kuat, inisiatif yang kaya, kreativitas
yang memadai, dan fleksibilitas yang tinggi dalam mengidentifikasi, memilih,
dan menggunakan metode pembelajaran serta mengembangkannya lebih lanjut.
Kemampuan-kemampuan ini bahkan perlu secara terus-menerus diperbaharui dan
dikembangkan agar tidak mengalami ketertinggalan dengan kemajuan IPTEKS yang
terus berlangsung. Hal ini juga memang sesuai dengan prinsip lifelong learning, prinsip yang menjadi
pegangan bertindak setiap pendidik luar sekolah.
7.
Desain Pembelajaran PLS
Tahap
asesmen terdiri atas empat kegiatan, yaitu (1) pengembangan kesadaran tentang
kebutuhan belajar, (2) penentuan konten pembelajaran, (3) telaah terhadap
karakteristik peserta didik, dan (4) kajian terhadap konteks pembelajaran.
Selanjutnya tahap pengembangan bahan ajar terdiri atas tiga kegiatan, yaitu (1)
pengembangan tujuan pembelajaran, (2) pengembangan kegiatan pembelajaran, dan
(3) pengembangan evaluasi. Tahap yang terakhir, yaitu refleksi, terdiri atas
kegiatan refleksi terhadap keseluruhan proses pengembangan dan implementasi
dari rencana pembelajaran yang telah disusun.
Dalam
desain pembelajaran untuk PLS, pada tahap asesmen, identifikasi kebutuhan
belajar merupakan hal yang sangat vital. Kebutuhan belajar pada dasarnya
adalah kemampuan yang harus dipelajari seseorang atau komunitas untuk dapat
melaksanakan suatu tugas atau peran sosial tertentu.
Oleh
karena itu identifikasi semua kebutuhan belajar atau kemampuan-kemampuan yang
dibutuhkan peserta didik atau warga belajar sebelum merancang program
pendidikannya merupakan sesuatu yang mutlak.
Kerangka
desain tersebut di atas sangat berguna baik untuk pendidik yang belum ataupun
sudah berpengalaman. Kerangka desain ini merupakan pedoman praktis bagi
pendidik untuk melakukan refleksi secara sistematis terhadap pembelajaran yang
dilaksanakannya guna memastikan ketepatan dan kontribusinya terhadap
pencapaian tujuan pembelajaran dan kemungkinan upaya yang dapat dilakukan untuk
perbaikan atau peningkatannya lebih lanjut.
BAB III
PENDEKATAN PEMBELAJARAN
UNTUK PROGRAM-PROGRAM PLS
1.
Pendekatan Liberal
Di
dunia Barat, pendekatan Liberal merupakan pendekatan yang tertua. Pendekatan
ini bermaksud membawa seseorang ke arah kemelekan hidup secara luas, baik
secara intelektual, moral, spiritual, maupun estetika. Hal ini dipandang sebagai
kebutuhan semua orang sehubungan dengan terjadinya perubahan yang semakin cepat
dari ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dewasa ini. Dengan cara demikian
diharapkan dapat tercipta sebuah masyarakat yang gemar belajar atau "learning society", sebuah istilah
yang diintroduksi oleh Robert Hutchins (1968). Konten atau isi pendidikan yang
paling utama menurut pendekatan ini adalah filsafat, agama, dan kemanusiaan.
Ketiganya harus menjadi konten dasar lembaga pendidikan di semua jalur dan
tingkatan pendidikan, sedangkan konten-konten yang lain dapat ditempatkan dan
diselenggarakan sebagai kajian khusus atau spesialisasi. Pendekatan ini
berorientasi pada pemahaman atau penghayatan konsep atau teori dan bukan pada
fakta ataupun prosedur (keterampilan.
2.
Pendekatan Progresif
Pendekatan
progresif merupakan sebuah pendekatan yang lebih menekankan kejuruan dan
pelatihan, belajar melalui pengalaman, penemuan ilmiah, dan tanggung jawab
sosial. Jadi tidak seperti pendekatan Liberal, pendekatan ini mengarah ke
hal-hal yang lebih praktis dan mendesak di masyarakat.
Pendekatan
ini banyak digunakan untuk mendesain pendidikan bagi individu yang potensial
dan berbakat serta menekankan proses yang berpusat pada peserta didik.
Pendekatan ini juga menekankan demokratisasi pendidikan bersama pelopor-nya,
yaitu John Dewey. Pendekatan ini menekankan pentingnya pengembangan berfikir
yang lebih rasional tentang pekerjaan, kesehatan, pengasuhan anak, dan
isyu-isyu masyarakat lainnya. Konsep umum pendekatan ini memiliki lingkup yang
luas yaitu sosialisasi dan inkulturasi, sehingga pendidikan tak terbatas hanya
di sekolah melainkan juga di semua kegiatan-kegiatan baik yang insidental
maupun yang disengaja digunakan masyarakat untuk menyebarkan pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan nilai-nilai. Pihak-pihak pengemban tugas pendidikan
mencakup keluarga, tempat kerja, sekolah, tempat ibadah, dan kesemua pihak di
masyarakat. Pendidikan dipandang sebagai proses yang terjadi sepanjang hayat.
Menurut Dewey, sekolah hanya membekali pertumbuhan mental tetapi selebihnya
tergantung pada penyerapan dan interpretasi seseorang terhadap pengalaman di
sepanjang hidupnya. Pendidikan yang sesungguhnya justru diperoleh setelah
seseorang meninggalkan sekolah.
Metode
pembelajaran yang sangat menonjol dalam
pendekatan ini adalah metode ilmiah yang dikemas menjadi metode-metode
problem-solving, project dan activity. Karena itu pembelajaran orang dewasa
mesti berpusat pada problem atau situasi yang sesuai dengan karakteristik
peserta didik, pada problem yang mendesak, dan pada situasi yang sedang mereka
hadapi.
3.
Pendekatan Behavioristik
Behaviorisme
memfokuskan diri pada aktivitas yang tampak dan dapat diukur dari makhluk
hidup. Belajar diartikan sebagai sebuah perubahan perilaku. Tujuan pembelajaran
dirumuskan kedalam format tujuan behavioral dan dijadikan tolak ukur untuk
mengevaluasi perubahan perilaku yang ditunjukkan peserta didik setelah
mengikuti atau menyelesaikan sebuah unit pembelajaran. Tujuan behavioral berisi
tiga komponen, yaitu (a) kondisi yang membuat peserta didik berperilaku, (b)
perilaku yang ditunjukkan oleh peserta didik itu sendiri, dan (c) kriteria
keberhasilan perilaku.
Pola
pendidikan suatu masyarakat mencerminkan sistem nilai yang dianutnya. Pandangan
filosofi behaviorime berkeyakinan bahwa survival
(kemampuan mempertahankan hidup) adalah nilai yang paling mendasar bagi hidup
dan kehidupan manusia. Menurutnya, mempertahankan hidup (survival) merupakan nilai funda-mental bagi setiap orang. Yang
terbaik bagi makhluk hidup adalah kemampuan mempertahankan hidup. Yang terbaik
bagi seseorang adalah upaya meningkatkan martabat. Yang terbaik bagi kebudayaan
adalah mengatasi permasalahan hidup.
Pada
tingkat individual, pendidikan harus menekankan perolehan keterampilan tertentu
agar individu mampu mempertahankan hidupnya. Karena itu "Learning how to learn" harus
diarahkan ke penguasaan keterampilan kerja. Peran pendidik adalah mendesain
lingkungan untuk mendorong lahirnya perilaku yang dikehendaki, sedangkan
peran yang diharapkan dari pihak siswa adalah peran aktif dan bukan pasif.
Belajar
diartikan sebagai perubahan tingkah laku, sehingga seseorang dapat dikatakan
belum belajar apabila belum ada perubahan tingkah laku dari kegiatan
belajarnya. Tingkah laku di sini bukan sikap ataupun semua gerakan fisik yang
dilakukan manusia, melainkan tingkah laku yang merupakan manifestasi kemampuan
seseorang dalam melaksanakan suatu tugas atau peran sosial tertentu.
4.
Pendekatan Humanistik
Secara
historis tujuan pendidikan adalah transmisi warisan budaya. Dasar asumsinya
adalah antara masyarakat satu generasi dan generasi berikutnya akan kurang
lebih sama. Karena itu orang dewasa perlu mengetahui keterampilan dasar, sikap
dan nilai tertentu untuk bisa berfungsi di masyarakat. Tujuan pendidikan
humanitsik adalah pemberdayaan manusia, yaitu orang yang terbuka terhadap
perubahan dan belajar secara berkelanjutan, orang yang berjuang untuk
aktualisasi diri, dan orang yang mampu hidup bersama secara betul-betul
fungsional.
Fokus
pendidikan orang dewasa adalah pada diri peserta didik secara individual dan
bukan pada batang tubuh pengetahuan atau informasi. Pendidikan humanistis tetap
memiliki dua aspek, yaitu aspek penyampaian materi yang lebih manusiawi dan
aspek pengembangan pribadi untuk mampu memahami diri dan orang lain serta
mampu berhubungan secara sosial secara positif. Komponen pendidikannya meliputi
(1) peserta didik sebagai inti proses, (2) pendidik sebagai fasilitator, dan
(3) belajar melalui penemuan.
5.
Pendekatan Radikal dan Kritis
Pendekatan
ini mengacu pada tradisi filosofi pendidikan radikal yang dipelopori oleh Paulo
Freire. Pada intinya pemikiran radikal dan kritis adalah sebuah upaya
perlawanan terhadap pihak status quo.
Yang menjadi arah tradisi filosofi pendidikan ini sebenarnya adalah
meningkatkan kedalaman perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Secara
historis pemikiran pendidikan radikal berakar dari tiga sumber, yaitu (a)
tradisi anarkhis yang berkembang pada abad kedelapan belas dan yang terus
berlanjut hingga sekarang sebagai upaya perlawanan terhadap pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah. (b) Tradisi sosialis-marxis yang menentang
pendidikan persekolahan sebagai bentuk pemeli-haraan dunia industri modern.
(c) Tradisi Aliran Kiri Freud yang memberikan tekanan utama gerakannya pada
perubahan watak kepribadian, struktur keluarga, dan praktik pengasuhan anak.
6.
Pendekatan Analitik
Pemikiran
analisis merupakan pemikiran yang menekankan analisis konsep, argumentasi,
slogan dan pernyataan-pernyataan. Dalam aplikasinya di dunia pendidikan,
pemikiran ini menganalisis konsep-konsep pendidikan, pengajaran, ataupun
belajar dan mempreskripsikan bagaimana seharusnya pendidikan dan sekolah menyikapi
tujuan, isi, metode, dan evaluasi.
Para
pemikir analitik mencapai tujuan klarifikasi bahasanya melalui penggunaan
berbagai teknik, Mat, dan metode. Mat yang pertama-tama digunakan adalah
logika. Dalam rangka ini para analis membedakan 3 macam pertanyaan, yaitu
pertanyaan tentang fakta, pertanyaan tentang nilai, dan pertanyaan tentang
konsep.
Terkait
dengan konsep pendidikan orang dewasa, Peterson memulai karyanya dengan sebuah
analisis tentang konsep "dewasa". Menurutnya, kedewasaan merupakan
sebuah konsep normatif yang berbasis usia kronologis dan status seseorang di
masyarakat. Orang dewasa mempunyai hak tertentu di dalam kehidupan masyarakat
yang tak dapat dipandang oleh anak-anak. Mereka juga mempunyai tanggung jawab
tertentu yang dibebankan oleh masyarakat. Meskipun secara emosi dan moral bisa
jadi belum matang, mereka biasanya dianggap sudah matang. Karena itu
satu-satunya landasan yang paling tepat dalam hal ini adalah`bahwa mereka
lebih tua dari pada anak-anak. Melalui kurun usia itu mereka telah
berkesempatan mengembangkan kematangan emosi dan moral. Selanjutnya Lawson
melakukan pembedaan antara pendidikan untuk orang dewasa dan pendidikan
kedewasaan. istilah yang pertama mencakup semua jenis kegiatan belajar yang
melibatkan orang dewasa, sedangkan istilah yang kedua merupakan istilah normatif
yang bisa diaplikasikan bila-mana kriteria proses pendidikannya betul-betul
tersedia.
7.
Pendekatan Pasca Modern
.Paham
ini memperjuangkan konteks sosial yang menghargai segi-segi perasaan,
kesadaran, intuisi, spiritualitas, dan pluralitas budaya. Karena itu paham
pasca modern pada dasarnya merupakan gerakan kultural dalam era industri. Paham
ini tidak melihat paham modern sebagai kekuatan untuk kemerdekaan tetapi justru
sumber penekanan, penguasaan, dan penyerangan. Pasca modern menolak semua
pandangan yang mengarah ke globalisasi seperti marxisme, kapitalisme, demokrasi
liberal, kemanusiaan sekuler, dan islam fundamentalis.
Paham
pasca modern dalam PLS mempunyai kecenderungan ke arah beberapa hal. Di
antaranya adalah perhatian terhadap keberadaan berbagai konteks sosial yang
menuntut respon berbeda, seperti suku budaya, tingkat ekonomi, jender, dan
bahasa. Selain itu juga keyakinan terhadap kekuatan kesadaran, perasaan, dan
spiritualitas dalam tindakan manusia. Paham ini menekankan pentingnya
nilai-nilai intrinsik dari setiap pengalaman. Sebagai konsekuensinya, privatisasi
dalam pendidikan sangat dibutuhkan. Tujuan, kurikulum, dan proses pendidikan
harus memperhitungkan keterlibatan peserta didik. Setiap pendidik harus
berupaya mempedulikan semua pihak yang terpinggirkan, terabaikan, tak berdaya,
dan terbelenggu di manapun mereka berada.
8.
Pendekatan Transformatif
Pembelajaran
transformatif merupakan teori belajar yang unik, abstrak, dan ideal dengan
puncaknya yang disebut critical reflection
(renungan kritis).
Secara
konseptual, dalam Webster Dictionary (Daszko, Ma-cur & Sheinberg, 2004)
disebutkan: "To transform means to
change in form, appearance or structure; metamorphoses; to change condition,
nature or character; to change into another substance. "Dinyatakan
selanjutnya bahwa: "That is, while
all transformation is change, not all change is transformation. Transformation
is a change in kind; not a change in degree." Dari sini dapat ditarik
pengertian bahwa transformasi berarti (a) merubah bentuk, penampilan atau
struktur; (b) mengubah kondisi, hakikat atau karakteristik; bahkan (c)
mengganti substansi. Dengan demikian semua transformasi adalah perubahan,
tetapi tidak semua perubahan adalah transformasi. Perubahan lebih bersifat superfisial
(dangkal), sedangkan transformasi lebih bersifat substansial (mendasar). Lebih
lanjut Cranton (2003) juga mengetengahkan bahwa:
At its core, transformative learning
theory is elegantly simple. Through some event, which could be as traumatic as losing
a job or as ordinary as an unexpected question, an individual becomes aware of
holding a limiting or distorted view. If the individual critically examines
this view, opens herself to alternatives, and consequently changes the way she
sees things, she has transformed some parts of how she makes meaning out of the
world.
Secara
ringkas dapat dikatakan bahwa transformasi pada dasarnya adalah suatu upaya
atau proses perubahan yang mendasar pada diri manusia. Pembelajaran atau
pendidikan yang transformatif adalah pembelajaran atau pendidikan yang
menghasilkan perubahan mendasar pada peserta didik. Jadi pembelajaran yang
tidak memberikan dampak perubahan mendasar bukanlah pembelajaran transformatif.
Dari sudut pandang ini, pendidikan dapat diartikan sebagai transformasi potensi
manusia, baik secara keseluruhan ataupun terbatas. Dengan demikian pembelajaran
dapat dipandang sebagai transformasi pengetahuan atau kognitif, sedangkan
pelatihan dapat dipandang sebagai transformasi keterampilan atau psikomotorik.
Dengan
demikian, yang bisa diubah pada diri peserta didik dalam pembelajaran
transformatif pada dasarnya bisa berkenaan dengan aspek apapun. Hal ini berarti
bahwa pembelajaran transformatif bisa digunakan untuk mengubah persepsi,
pandangan, asumsiasumsi, sikap, perasaan, kesadaran, bahkan keyakinan peserta
didik. Yang dimaksud dengan keyakinan disini tidak terbatas pada keyakinan yang
terkait dengan agama, melainkan juga keyakinan dalam hal-hal yang lain mulai
dari yang sepele hingga yang sangat bermakna.
Transformasi
itu pada dasarnya adalah sebuah proses atau peristiwa perubahan diri sendiri,
sehingga yang paling menentukan adalah diri orang yang bersangkutan sendiri,
bukan orang lain. Karena itu perubahan diri memerlukan prasyarat tertentu,
seperti sebuah kondisi yang menyedihkan dan kecocokan rangsang yang tertuju ke
diri seseorang dengan kondisi yang sedang dialami seseorang yang bersangkutan.
Dazko,
Macur & Sheinberg (2004) menyatakan bahwa transformasi bermula dari
pemahaman individu terhadap sesuatu kemudian berlanjut ke masalah sosial.
Dengan pemahaman semacam itu individu yang ditransformasi akan memberi makna
baru terhadap kehidupan, peristiwa, dan interaksinya dengan orang lain. Begitu
seseorang memahami suatu pengetahuan secara mendalam, dia segera
mengaplikasikan prinsip-prinsip pengetahuan tersebut pada setiap interaksinya
dengan orang lain. Earley (2004) bahkan memaknai transformasi individu sebagai transformation of consciousness yang
diaplikasikan kedalam suatu tindakan sosial. Dalam pemahaman yang seperti ini,
transformasi bisa mencakup bidang-bidang lain yang lebih luas, termasuk
tercakupnya unsur-unsur psikoterapi, spiritual, dan sosial.
Dari
penjelasan tentang pembelajaran transformatif di atas, dapat dikatakan bahwa
pembelajaran transformatif telah menjadi sebuah pendekatan. Di dalamnya
terlihat dengan jelas potensi konseptual yang luar biasa. Dengan demikian,
apabila potensi tersebut dapat diaplikasikan kedalam kegiatan pelatihan, maka
muncul harapan bahwa kegiatan pelatihan tersebut memiliki peluang untuk tampil
sebagai kegiatan yang sangat berguna.
Dewasa
ini telah berkembang beberapa perspektif teori belajar transformasional, di
antaranya adalah transformasi rasional atau transformasi personal oleh Mezirow,
transformasi pendidikan atau transformasi individu oleh Boyd, dan transformasi
sosial atau transformasi emansipatori oleh Freire (Taylor, 1998). Menurut
transformasi rasionat, proses belajar transformatif adalah proses pembangunan
makna baru terhadap pengalaman diri sendiri berdasarkan interpretasi
sebelumnya guna memandu tindakan-tindakan yang akan datang. Teori ini
menjelaskan bagaimana harapan, kerangka asumsi budaya, dan anggapan-anggapan
seseorang mempengaruhi makna yang diperoleh dari pengalaman barunya. Kegiatan
belajar dilakukan melalui dua ranah, yaitu instrumental dan komunikatif.
Belajar instrumental difokuskan pada proses pemecahan masalah, sedangkan
belajar komunikatif ditekankan pada pemahaman substansi yang terkandung di
dalam pembicaraan orang lain, misalnya tentang nilai, cita-cita, perasaan,
keputusan moral, dan konsepkonsep kebebasan, keadilan, kasih sayang, buruh,
otonomi, komitmen dan demokrasi.
Tujuan
utama transformasi adalah membebaskan diri individu dari pola-pola kehendak dan
norma budaya yang menghambat potensi aktualisasi diri. Jadi jika Mezirow
menfokuskan diri pada konflik kognitif yang dialami seseorang dalam hubungannya
dengan budaya dan menempatkan ego sebagai pemain utama dalam pencapaian
transformasi, maka Boyd menfokuskan diri pada upaya mengatasi konflik di dalam
internal diri individu untuk mencapai keharmonisan karena diri (self) merupakan
bagian sentral dan integral dari totalitas kepribadian.
BAB IV
STRATEGI PEMBELAJARAN UNTUK
PROGRAM-PROGRAM PLS
Jarvis
menyatakan bahwa strategi didaktis dan sokratis lebih berpusat pada pihak
pendidik, sedangkan strategi fasilitatif
dan eksperiensial sama – sama dapat di manfaatkan untuk pembelajaran
orang dewasa. Jika pendidik berperan dalam strategi didaktis, dia menguraikan
pengetahuan untuk di pelajari peserta didik, jika pendidik berperan dalam
strategi sokratik dia membawa peserta didik kekesimpulan terhadap temuan –
temuan mereka melalui berbagai pertanyaan yang sengaja di arahkan. Selanjutnya
jika peran yang di mainkan pada strategi fasilitatif, maka dia menciptakan
kondisi sedemikian rupa sehingga terjadi proses belajar tanpa pengaawasan yang
ketat, dan jika peran yang di mainkan pada strategi eksperiensial maka pendidik
menyediakan pengalaman – pengalaman yang melibatkan semua peserta didik. Berikutnya
mezirow menampilkan strategi transformatif
sebagai strategi yang sangat bermakna bagi perubahan kemampuan peserta
didik secara lebih segera. Semua strategi ini sangat penting dan pendidik luar
sekolah bisa mengunakannya secara bervariasi
sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan di selenggarakannya.
1.
Strategi didaktis
Didaktis biasa diartikan sebagai ilmu
tentang cara - cara mengajar secara
umum. Istilah ini umumnya di gunakan dalam pendidikan formal dan dipakai dalam
konteks pengajaran (teaching) di sekolah. Biasanya istilah ini di pasangkan
dengan “metodik” yang diartikan sebagai pengetahuan tentang cara – cara
mengajar secara kusus dalam artian yang berlaku untuk bidang studi tertentu
seperti metodik IPA, metodik IPS, dan metodik matematika. Oleh karena itu
strategi didaktis dapat dikategorikan sebagai strategi pembelajaran tersendiri.
Meskipun istilah pengajaran sekarang
telah mengalami perubahan menjadi pembelajaran (instruction), tetapi istilah
yang lama tersebut memiliki historis tersendiri dan kesannya masih sulit di
hapuskan. Pengajaran secara tradisional di pahami sebagai kegiatan penyampaian
pengetahuan. Substansi kegiatannya adalah pemilihan pengetahuan atau
ketrampilan tertentu sebagai bahan pelajaran, penyampaian bahan pelajaran
kepada peserta didik, dan penilaian terhadap kemampuan peserta didik
mereproduksi bahan tersebut.
Dalam tak sonomi bloom, ranah kemampuan
koknitif di gambarkan ke dalam 6 tingkatan, yaitu mengetahui, memahami,
mengaplikasikan, menganalisis, mengsintesis, dan mengevaluasi. Hasil belajar
yang dicapai pesetra didik di sekolah umumnya bergerak di antara menghafalkan
pengetahuan (mengetahui ) dan aplikasi (mengaplikasikan).
Strategi didaktis atau strategi
penyampaian pembelajaran pada dasarnya juga bisa digunakan dalam pendidikan
luar sekolah terutama untuk tujuan pembentukan atau penguasaan pengetahuan.
Penguasaan pengetahuan adalah kebutuhan setiap orang. Dalam situasi dimana
kelompok peserta didik tertentu betul – betul pengetahuan, maka pengetahuan
didaktis bisa digunakan.
2.
Strategi sokratik
Sesuai dengan istilahnya, strategi ini
berasal atau diangkat dari cara – cara kahs yang digunakan oleh seorang filosof
yang bernama sokrates. Strategi ini dilaksanakan dengan cara mengarahkan atau
mengajukan sejumlah pertanyaan yang urut dan logis kepada peserta didik hingga
mereka terdorong untuk merespon dan megekspresikan pengetahuan yang telah
dimilikinya, yang belum pernah terkristalisasi oleh pemikirannya sendiri. Namun
cara ini memang menunut pihak pendidikan memiliki ketrampilan pengunaannya dan
kemampuan untuk mencerna respon peserta didik.
Strategi ini bisa digunakan untuk
memperdayakan simpanan baik pengetahuan maupun pengalaman hidup sebagai sumber
belajar yang sangat esensial bagi pembelajarn orang dewasa. Bahkan bisa di
catat bahwa jika strategi ini di aplikasikan secara lebih cakap juga bisa
membantu peserta didik lebih mengembangkan kreativitas ketimbang hanya
mereproduksi kembali pengetahuan dan pengalaman mereka.keutunagan yang lain adalah
setrategi ini bisa membuat setiap peserta didik teribat secara aktif dalam
proses pembelajaran.
3. Strategi fasilitatif
Strategi fasilitatif adalah strategi
pembelajaran yang menempatkan pendidik sebagai fasilitator atau seseorang yang
bertugas membeantu peserta didik belajar. Strategi ini digunakan untuk
menumbuhkan kesadaran pada diri peserta didik tentang kebutuhan belajar
tertentu, menghadapkan peserta didik pada sebuah persoalan yang menuntut
solusi, serta memberikan pengalaman kepada peserta didik dan diajak untuk
merenugkannya. Dengan cara – cara semacam ini pelajaran akan menjadi sebuah
proses yang lebih berpusat pada peserta didik.
Dalam proses pembelajaran, di tahap –
tahap fasilitator mempunyai peran yang menentukan, tetapi karena dia tidak bisa
memaksa peserta didik belajar dan karena tujuan pendidikan orang dewasa adalah
menciptakan kemandirian peserta didik.
Dalam proses pembelajaran, di tahap – tahap awal fasilitator mempunyai
peran yang menentukan, tetapi karena dia tidak bisa memaksa peserta didik
belajar dan karena tujuan pendidikan orang dewasa adalah menciptakan
kemandirian peserta didik, maka di tahap – tahap akhir pelajaran peran
fasilitator dalam tahapan pembelajaran, yang perlu di upayakan adalah member
kebebasan kepada peserta didik dalam proses belajar berkenaan dalam empat hal
yaitu kecepatan, pilihan, cara, dan konten.
4. Strategi eksperiensial
Sebagaimana disinggung sebelumnya,
strategi eksperiensial merupakan strategi pembelajaran yang berbasis
pengalaman. Strategi ini bermaksud memperkaya peserta didik dengan berbagai
pengalaman yang relefan dengan kebutuhan belajarnya. Diyakini bahwa pengalaman
merupakan sesuatu yang dapat mengembangkan potensi peserta didik secara
optimal.
Strategi ini merujuk ke Experiental Learning Theory yang di
gagas Kolb (1984). Dalam rangka pengunaan pengalaman sebagai basis belajar atau
pembelajaran, substansi yang sangat esensial adalah feeling, thinking, waching, dan doing.
Pertama –tama dua aspek (waching dan
doing ) dihubungkan dengan garis kontinum “grasping experience” untuk terjadinya proses perolehan pengalaman,
kemudian dua aspek lainnya (feeling
dan thinking) dihubungkan dengan
garis kontinum “transforming experience”
guna menjadikan proses pembelajaran yang kaya dan bermakna.
5. Strategi partisipatif
Strategi pembelajaran partisipatif
dapat diartikan sebagai serangkaian upaya pendidik untuk mengikut sertakan
peserta didik dalam keseluruhan tahapan kegiatan pembelajaran. Tahapan
pembelajaran terdiri atas tahap perncanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap
penilaiaan. Pada tahap perencanaan peserta didik diikutkan dalam
pengindentifikasian untuk pembelajaran, dan kemungkinan hambatan yang akan
terjadi.
Strategi partisipatif merupakan
strategi pembelajaran yang mengacu ke pol belajar orang dewasa itu sendiri.
Orang dewasa ingin berpartisipasi di dalam proses pembelajaran sehingga mereka
akan belajar secara optimal bilamana dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran
yang mereka ikuti. Hal ini dapat dilihat dalam praktik, seringkali ditemukan
adanya beberapa partisipan yang bicara sendiri atau tertidur ketika nara
sumber, fasilitator, tutor atau uztad sedang menyampaikan prestasi. Tetapi
tidak demikian halnya jika mereka diajak berdialog atau dibuat tertawa karena
adanya hal lucu dalam prestasi yang dibawakan penyaji.
Terkait dengan keterlibatan peserta
didik ini Dean (2004) menunjukan tingkat rendah, sedang, dan tinggi dari
keterlibatan peserta didik untuk dampak pembelajaran tertentu sebagai dampak
dari penggunaan teknik pembelajaran tertentu. Untuk perolehan informasi, teknik
kuliaih (ceramah), pameran, dan televise hanya dapat melahirkan tingkat
partisipasi yang rendah, sementara filed
trip dan pembelajaran dengan computer dapat melahirkan tingkat partisipasi
yang tinggi. Untuk pemecahan masalah, teknik – teknik demokratis, debat dan
televise memberikan partisipasi rendah, sementara permainan peran atau
simulasi, studi kasus, latihan, pembelajaran dengan computer, dan diskusi
kelompok dapat melahirkan partisipasi yang tinggi.
6. Strategi mandiri
Strategi belajar mandiri atau self-directed learning merupakan sebuah strategi pembelajaran yang membawa
peserta didik untuk mengambil inisiatif dengan atau tanpa bantuan orang lain
melakukan kegiatan belajar. Kegiatan yang dilaksanakan peserta didik dalam hal
ini dimulai dari diagnosis kebutuhan belajar, perumusan tujuan pembelajaran,
identifikasi sumber – sumber belajar, memilih dan mengaplikasikan strategi
belajar, dan menilai proses dan hasil belajarnya sendiri. Menurut Knowles
(1975), strategi ini cocok untuk pendidikan orang dewasa karena orang dewasa
telah memiliki konsep diri sebagai orang yang sudah mandiri (sudah terlepas
dari ketergantugan dari orang lain), banyak pengalaman menghadapi berbagai
persoalan hidup sehingga tidak mau di perlakukan seperti anak kecil (orang yang
tidak berpengalaman).
Yang menjadi masalah untuk
pengimplementasian strategi ini adalah peserta didik perlu memiliki minat dan
kemampuan membaca, sedangkan yang menjadi kenyataan adalah banyak peserta didik
PLS yang tidak memiliki kemampuan membaca memadai dan sebagian besar masyarakat
Indonesia mempunyai minat baca yang sangat rendah. Selain itu terkait dengan
kemungkinan dimilikinya gaya belajar independen (mandiri) atau pun dependen
(bergantung) pada diri setiap orang sebagai cirri dari cirri kepribadiannya,
maka seseorang yang memiliki gaya belajar independen akan lebih sesuai
memperoleh layanan dengan strategi ini ketimbang yang memiliki gaya belajar
dependen. Orang yang memiliki gaya belajar dependen sangat bergantung pada
lingkungan.
7. Strategi transformative
Pembelajaran transformative dapat
dipandang sebagai sebuah strategi. Kajian ilmiah tentang subtansi ini masih
tergolong baru, sehingga penelitian nya sedang dan terus dilakukan. Diantara
kegiatan penelitian tersebut adalah penelitian disetrasi yang hingga saat ini
sudah lebih dari 50 buah (Taylor, 2007).
Strategi ini sangat potensial untuk
mengupayakan terjadinya perubahan mendasar pada diri peserta didik, terutama mindset-nya. Perubahan yang diharapkan
bisa berkenaan dengan persepsi, paradigm berfikir, kepribadian, bahkan
keyakinan. Keyakinan mendasari setiap tindakan manusia.
Berkenaan dengan pembelajaran
transformative sebagai suatu strategi, Cranton (2003) merekomendasikan beberapa
strategi, 7 diantaranya adlah sebagai berikut :
(1) An activating event that typically
exposes a discrepancy between what a person has always assumed to be true and
what has just been experienced, heard, or read.
Dalam strategi
ini pendidik membawa peserta didik ke
peristiwa – peristiwa yang sangat berbeda dari apa yang selama ini mereka
anggap benar. Pendidik mengkonfrontir pemahaman peserta didik dengan cara
memberi, menunjukkan, menjelaskan, atau member bahan bacaan kepada peserta
didik tentang pengalaman baru. Dengan demikian peserta didik berfikir dan
mempertanyakan kembali kebenaran asumsi yang telah digunakan selama ini.
(2)
Acticulating assumption, that is, recognizing underlying asumtions that hve
been uncriticall assimilated and are largely unconscious.
Mengartikulasi
atau memaknai asumsi – asumsi yang telah dijadikan rujukan atau dianut orang
secara tanpa disadari selama ini. Disini pendidik mengajak peserta didik untuk
mengklarifikasi makna yang sebenarnya dari asumsi – asumsi tersebut. Dengan
demikian peserta didik menjadi sadar akan makna asumsi – asumsi yang mereka
anut selama ini sehingga menjadikannya sebagai bahan pertimbangan apakah mereka
tetap mengikutinya atau tidak.
(3)
Crtical self-reflection that is questioning and examining as sumptions in terms
of where they came from, the consequences of holding them, and why they are
important.
Mengunakan
refleksi atau perenugan diri secara kritis untuk mempertanyakan dan menguji
kembali asumsi – asumsi tertentu tentang dari mana asumsi itu berasal, apa
akibatnya kalau tetap mengikutinya, dan mengapa asumsi ini begitu penting.
Pendidik mengajak peserta didik mengkritisi asumsi – asumsi tersebut, mengecek
kembali apa keuntungan yang mereka peroleh denagn mengikuti asumsi – asumsi
tersebut, dan dimana letak pentingnya asumsi tersebut, dan sebagainya.
(4)
Being open to alternative viewpoints
Mengajak
peserta didik untuk bersikap terbuka terhadap sudut pandang yang berbeda.
Penduduk menyadarkan peserta didik tentang adanya berbagai kemungkinan sudut
pandang terhadap setiap hal, memberikan contoh beberapa sudut pandang yang
berbeda, mengajak mereka membandingkan kelebihan dan kekurangan masing – masing
sudut pandang. Slanjutnya pendidik memberikan contoh tentang keuangan
dimilikinya sikap terbuka dibandingkan dengan sikap yang tertutup.
(5)
Engaging in discourse, where evidence is weighed, argu-ments assessed,
alternative perspectives explored, and knowledge constructed by consensus.
Melibatkan
peserta didik dalam wacana yang didukung oleh bukti, argumentasi, berbagai
perspektif, dan pengetahuan yang di sepakati. Peserta didik dibawa kepengalaman
yang memiliki argumentasi rasional, obyektif, dan ilmiah. Dengan demikian
mereka memperoleh pengalaman yang bermakana melalui prosedur berfikir yang ilmiah.
(6)
Revising assumptions and perspectives to make them more open and better
justified.
Memperbaiki
asumsi – asumsi atau sudut – sudut pandang tertentu untuk berlatih bersikap
lebih terbuka dan melakukan penilaian secara lebih baik. Pendidik member berbagai
pengalaman kepada peserta didik tentang cara – cara memperbaikki termasuk
mengubah atau menganti berbagai asumsi dan cara berfikir. Dari sini peserta
didik akan menjadi orang yang lebih bersikap lebih terbuka dan lebih bijak
menilai dan mengambil suatu keputusan.
(7)
Acting on revisions, behaving, talking, and thingking in a why that is
congruent with transformed assumptions or perspectives.
Belatih
melakukan perbaikan, bertindak, berbicara, dan berfikir yang konsisten dengan
asumsi – asumsi atau pandangan – pandangan yang telah di transformasi. Peserta
didik dilatih untuk melakukan berbagai kegiatan perbaikan dan melakukan
tindakan tertentu yang telah di ubah. Hal ini secara langsung akan membawa
peserta didik kebiasaan melakukan improvisasi terhadap tindakan – tindakannya,
pembicaraannya, dan cara berfikirnya secara fleksibel dan konsisten.
Dengan upaya yang terus menerus dalam
pengimplementasian strategi ini, maka strategi – strategi transformative diatas
akan menjadi lebih teruji, evisien, bahkan bervariasi sehingga bisa melahirkan
lebih banyak pilihan.